Surga sudah penuh. Ahli zikir, ahli tahajud, ahli tilawah sudah terlebih dahulu berada di sana. Dermawan, ilmuwan, agamawan sudah disediakan tempat di sana. Orang saleh, orang sabar, orang tawakal lebih berhak berada di sana Tak tersisa tempat untuk orang seperti kita. Sudahlah!
Surga sudah penuh
Terlalu murah jika surga ditukar hanya dengan amalmu yang sedikit
Terlalu rendah jika surga dibayar hanya dengan kebaikanmu yang musiman
Terlalu naif jika surga diraih hanya dengan pahalamu yang tak sempurna
Tak kan bisa kau memasukinya
Sudahlah!
Surga sudah penuh
Sudahlah!
***
Purnama meraja di langit malam, di atas sebuah masjid besar dan megah di kota ini. Tidak seperti biasanya, malam ini masjid ramai dipenuhi orang yang sedang khusu’ mengikuti acara mabit yang diadakan sebuah yayasan. Dari dalam terdengar suara seorang ustadz terkenal yang sedang menyampaikan ceramahnya. Begitu bersemangat, begitu menggebu-gebu, mengingatkan peserta mabit akan pentingnya ikhlas dan sabar dalam menjalani kehidupan. Entahlah, apa yang dia maksud dengan canda di sela ceramah yang mengatakan bahwa keterlambatan kedatangannya sekitar dua puluh menit adalah sebagai ujian kesabaran peserta mabit.
“Saya sengaja terlambat ke sini sekadar menguji kesabaran saudara-saudara. Sejauh mana keikhlasan dan kesabaran saudara dalam menuntut ilmu malam ini terlihat dari kerelaan saudara menunggu kedatangan saya. Dan subhanallah, ternyata keikhlasan dan kesabaran saudara patut diacungi jempol.”, guyon sang ustadz yang disambut oleh derai tawa hadirin.
Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah gehu, bala-bala, comro, cireng, tempe tepung, ubi, juga pisang goreng yang masih menggunung di tempatnya. Ya, malam ini sengaja kutambah daganganku, berharap bisa membawa pulang uang lebih banyak dari hari biasanya. Nyatanya sampai saat ini baru setengahnya daganganku yang teruangkan. Mungkin inilah maksud ceramah tentang sabar yang sedang dijelaskan itu. Aku harus bersabar. Sedangkan ikhlas, aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan untuk mempraktikkan arti kata yang satu ini. Yang aku tahu adalah bahwa di rumah, istriku menunggu bersama keenam putra kami. Oh, bukan enam tapi tujuh karena istriku sedang hamil tujuh bulan. Dan mereka menungguku untuk memberi mereka makan, pakaian, biaya sekolah, dan tetek bengek keperluan hidup lain yang semakin melambung di zaman yang katanya era reformasi ini. Reformasi, kata apa lagi itu?
Tiga orang gadis berjilbab mendekat. Ah, akhirnya datang juga rezeki itu.
“Sabarahaan (berapa harganya), Mang?”, yang memiliki ukuran badan paling besar bertanya sambil memilih-milih gehu yang masih hangat.
“Sarebu tilu (seribu tiga), Neng. Mangga”, jawabku menawarkan seramah mungkin. Tanganku telah siap dengan kantung kertas.
“Combro na (combronya), Teh.”, yang berkaca mata menjawil.
“Tos lami ceramahna (Sudah lama ceramahnya), Mang?”, yang berjilbab paling rapi bertanya dalam bahasa Sunda yang tidak terlalu fasih. Kelihatan sekali dia bukan mojang priangan.
Keningku berkerut mencoba mengingat sudah berapa lama ustadz berceramah. Kalau yang ceramah selepas Shalat Isya maka ceramahnya baru setengah jam. Tapi bukankah selepas Maghrib tadi ada pula yang ceramah? Apakah mereka orang yang sama, aku tidak tahu. Menjelang dan selepas Maghrib tadi banyak sekali pembeli. Aku tidak sempat memperhatikan isi ceramahnya, apalagi siapa yang berceramah. Bahkan shalat Maghrib pun belum aku tunaikan. Ya, aku belum shalat Maghrib, astaghfirullah!
“Mang?”, gadis tadi kembali bertanya.
“Nembe satengah jam, panginten? (Mungkin baru setengah jam?).”
“Naha panginten? Si Mang mah, pasti teu ngadangukeun ceramahna nya? (Kok mungkin? Si Mang pasti tidak mendengarkan ceramahnya, ya)! ” yang berkacamata menyambung pembicaraan dalam nada canda. Tapi entah, di telingaku gadis tadi seolah berkata, “Cik atuh ngaos (coba dong mengaji)!”
“Tos. Jadi sabaraha, Mang?”, yang tadi memilih-milih gorengan membuka dompetnya.
“Opat rebu, Neng.”, kumasukkan kantong kertas yang sudah penuh berisi gorengan ke dalam kantong keresek hitam. Kuterima satu lembar uang lima ribuan. Kuangsurkan selembar uang ribuan. “Nuhun mang.”, gadis berjilbab paling rapi berkata. Kujawab dengan senyum dan anggukan.
Sepeninggal mereka, tiba-tiba saja aku tertarik memperhatikan peserta yang hadir, ceramah yang disampaikan yang terdengar melalui pengeras suara, serta kesibukan beberapa panitia yang mondar-mandir untuk memastikan acara berlangsung sesuai jadwal, aman, dan terkendali. Peserta mabit kali ini tampak lebih banyak dibandingkan acara serupa beberapa bulan yang lalu. Lihat di sana, tempat tambahan yang dibuat panitia di teras masjid dengan menggunakan terpal sebagai pembatas antara peserta laki-laki dan perempuan telah penuh terisi. Beberapa mobil tampak kesulitan mencari tempat parkir karena lahan yang disediakan sudah padat. Dari dalam masing-masing mobil turun tidak kurang dari lima orang, belum ditambah peserta yang menggunakan kendaraan umum. Tampaknya peserta bukan hanya berasal dari Bandung, melainkan juga dari luar kota, terlihat dari plat mobil jang berjajar rapi di areal parkir. Mungkin penceramah malam ini menarik minat mereka, terbukti dari canda yang dilontarkan penceramah disambut derai tawa semua peserta. Ya, penceramah malam ini menyampaikan ceramahnya begitu memukau tidak seperti penceramah khutbah Jumat di masjid dekat rumahku yang selalu membuat hampir semua jamaah terlelap. Mungkin isi ceramahnya terlalu biasa dan kerap diulang dari Jumat ke Jumat atau mungkin juga jemaahnya saja yang terlalu bodoh untuk mencerna untaian mutiara dalam setiap kalimat penceramah.
Ngomong-ngomong apa yang disampaikan bapak ustadz sehingga mengundang tawa peserta? Coba aku perhatikan lebih saksama.
“Jadi saudara-saudara, tidak mengapa saudara datang ke sini dengan dua tujuan. Pertama tholabul ilmi dan yang kedua tholabul jodoh…”, di sini tawa hadirin kembali meriuh rendah.
Oh, rupanya itu! Pasti yang tertawa keras itu adalah peserta yang masih lajang yang merasa tersindir dengan yang disampaikan barusan. Ceramah selanjutnya tidak dapat kudengarkan dengan saksama. Penjual mie ayam di sebelah mengusikku. Menukarkan uang dua puluh ribu dengan pecahan lima ribuan untuk kembalian. Setelah kuserahkan uang yang ia minta, aku harus meladeni pembeli –dua bocah laki-laki seumuran anak sulungku– yang disuruh orangtuanya di teras masjid sebelah sana untuk membeli gorengan sebagai cemilan di saat asyik mendengarkan ceramah. Setelah itu, entah siapa lagi yang telah kulayani. Yang jelas gorengan yang menggunung tadi kini sudah berkurang lumayan banyak.
Sebenarnya dengan sisa gorengan yang masih ada, aku sudah bisa pulang. Uang di dalam tas pinggangku sudah memenuhi target, kurasa. Seperti malam-malam sebelumnya istriku pasti sudah menunggu kepulanganku. Sambil menghitung dan mengatur anggaran belanja untuk besok, istriku menikmati sisa gorengan yang tidak terjual itu, juga putra sulungku jika ia belum tidur. Namun malam ini aku masih ingin menjajakan gorenganku sambil mendengarkan ceramah. Sekali-kali aku pun harus menyimak ceramah, seperti malam ini.
Rupanya penceramah sudah berganti. Yang ceramah sekarang suaranya terdengar lebih lantang dan sesekali terdengar ia memimpin takbir, “Allahu Akbar!” yang diikuti peserta dengan gegap gempita. Tak urung, rasa penasaranku menggelitik.
“Dakwah adalah tugas setiap individu. Kita tidak bisa manggantungkan tugas ini hanya pada ulama. Setiap kita hendaknya ambil bagian dalam tugas mulia ini. Allahu Akbar!”
Kembali takbir menggema. Beberapa peserta yang sedari tadi sudah terlena kantuk, sekarang tergagap. Jurus jitu penceramah agar peserta tidak mengantuk! Ceramah selanjutnya tidak begitu kumengerti. Terlalu banyak istilah asing –kurasa bahasa Arab – serta penyampaian maksud yang berputar-putar sebelum sampai pada tujuannya. Membingungkan! Lebih membingungkan lagi ketika ustadz berkata, “Surga telah menanti bagi siapa saja yang berjuang di jalan-Nya.” namun terdengar lain di telingaku. Dalam pikiranku kalimat itu seperti terdengar, “Surga telah menanti kita. Kita akan memadati surga hingga penuh!”
Surga sudah penuh? Kulihat ramai peserta yang hadir. Demikian banyaknya jumlah mereka, para ahli surga. Kutarik nafas membandingkan diriku dengan mereka. Membandingkan? Untuk membandingkan dua hal maka keduanya harus memiliki kadar kualitas yang sebanding. Sedangkan aku jika dibandingkan dengan mereka adalah jelas-jelas sebuah ketidakpantasan yang menggelikan. Siapalah aku, yang shalat saja lebih banyak melupakan ketimbang mengerjakan. Ya, surga sudah terlalu penuh untuk sekadar menampung orang-orang sepertiku.
Hey, apa yang tertulis di spanduk lebar yang dibentangkan di pintu masuk itu? ‘SURGA SUDAH PENUH’? Kalimat itu tertulis di sana di bawah kalimat tema mabit malam ini. Tulisan itu demikian jelasnya –dicetak dalam warna hitam dan ukuran huruf terbesar dari semua deretan kalimat yang tertera di spanduk– sehingga dapat terbaca dari seberang jalan sekali pun. Pengendara motor juga mobil pasti bisa membaca –walaupun sekilas– kalimat itu. Apa maksud kalimat tema itu?
Tunggu! Bukan hanya di spanduk kalimat itu tertulis. Di bagian belakang rompi biru yang dipakai panitia juga tertulis kalimat yang sama. Juga di jilbab putih seorang gadis yang duduk di sebelah sana, sebelah sana, dan sebelah sananya juga. Oh, di semua benda tertulis kalimat itu. Di tembok, di tong sampah, di pagar, di pepohonan taman, di sandal yang berjajar rapi, di keramik dan paving blok yang terhampar, bahkan di gerobak penjual bubur ayam, mie ayam, baso solo, batagor, juga baso tahu!
Oh, apa ini? Ini kenyataan atau hanya mataku saja yang berkunang-kunang sehingga kurang awas memperhatikan sekeliling. Tidak, ini tidak nyata. Ini hanya khayalanku saja. Apa yang harus aku lakukan? Kalimat itu seperti mengejekku, menyudutkanku. Tenang, tenang dulu. Semuanya akan baik-baik saja. Khayalan ini –ya, ini hanya khayalan– akan segera hilang. Aku harus segera sadar. Sadarlah! Aku ingin –bahkan harus– pulang untuk meredakan semua ini.
Tergesa kudorong gerobakku. Tak kuhiraukan beberapa teman penjual yang bertanya dalam nada mengejek, “Sore keneh, naha geus rek balik?(Masih sore, kok sudah mau pulang?)” Setelah keluar dari gerbang masjid segera kuarahkan gerobakku ke kanan. Sempat kudongakkan kepalaku melihat langit hitam cemerlang malam ini. Di sana, di langit utara bintang-bintang membentuk sebuah formasi sedemikian rupa sehingga dapat kubaca kalimat ‘SURGA SUDAH PENUH’.
***
Kukira hanya karcis bus atau kereta api saja yang bisa habis, ternyata tidak!
Karcis surga pun bisa habis
Surga sudah penuh
Sudahlah!